Sabtu, 21 Maret 2009

Rawa dan Potensinya

Rawa yang terletak pada koordinat 3º37'22.8" LS dan 114º42'09.2" BT merupakan bagian dari wilayah Desa Tungkaran Kecamatan Martapura Timur.
Rawa ini memiliki banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Potensi tersebut di antaranya:

1. Rumbia atau sagu
Kingdom: Plantae
Phylum: Tracheophyta
Class: Liliopsida
Order: Arecales
Family: Noctuoidea
Subfamily: Calamoideae
Tribe: Calameae
Genus: Metroxylon
Specific epithet: sagu - Rottb.
Botanical name: - Metroxylon sagu Rottb.


Photobucket

Tanaman rumbia atau yang biasa dikenal dengan sagu, memiliki kandungan amilum sangat besar dalam batangnya. Sejauh ini penggunaaanya lebih banyak untuk pembuatan tepung saja. Indonesia dengan jumlah rawa yang cukup besar dan kondusif untuk pertumbuhan rumbia, memiliki potensi dalam produsen kebutuhan amilum bagi keperlua industri obat, khsusunya tablet. Sampai saat ini, Indonesia masih mengimpor kebutuhan amilum bagi keperluan industri obat/farmasi. Bahkan untuk keperluan praktikum sehari-hari bagi mahasiswa, juga dilakukan pengimporan dari luar. Hal pertama yang diperlukan yaitu melakukan standardisasi dalam pengolahan rumbia serta peningkatan kualitas amilum yang dihasilkan sesuai dengan standar internasional. Amilum sagu ini sepertinya cocok untuk dijadikan bahan skripsi.
Penggunaan rumbia sebagai obat di antaranya obat bisul, yaitu dengan memotong pelepahnya sehingga mengeluarkan getah kemudian ditampung dalam sebuah mangkuk atau piring kecil dan dicampur kapur sirih secukupnya. Setelah tercampur rata, maka dioleskan pada bisul.


2. Kelakai (Stenochlaena palustris)

Domain: Eukaryota () - Whittaker & Margulis,1978
Kingdom: Plantae () - Haeckel, 1866 - Plants
Subkingdom: Viridaeplantae () - Cavalier-Smith, 1981
Division : Pteridophyta
Phylum: Tracheophyta () - Sinnott, 1935 Ex Cavalier-Smith, 1998 - Vascular Plants
Subphylum: Euphyllophytina ()
Infraphylum: Moniliformopses () - Kenrick & Crane, 1997, Nom. Nud.
Class: Filicopsida () - Cronquist Et Al.
Order: Filicales () - Link
Family: Blechnaceae () - (C. Presl, 1851) Copeland, 1947 - Chain Fern Family
Tribe: Narcisseae ()
Genus: Stenochlaena () - Linnaeus, 1753
Specific epithet: palustris - (Burm.) Bedd.
Botanical name: - Stenochlaena palustris (Burm.) Bedd.

Tanaman jenis paku-pakuan ini diketemukan di daerah rawa di Desa Tungkaran ini. Habitat tanaman kelakai ini memang di daerah yang basah dan tergenang. Tanaman ini memiliki sistem perakaran serabut dan cara penyebaran dengan tunas dan sulur serta spora. Tanaman cukup mudah berkembang dan bila dibiarkan akan menutupi area yang cukup luas.
Tanaman ini memiliki banyak khasiat, seperti antidiare. Selain itu, juga dipercayai oleh masyarakat Dayak sebagai obat penambah darah serta obat awet muda. Tidak lupa juga, pucuk muda kelakai ini adalah bahan masakan yang cukup lezat dan di kalangan penduduk asli kalimantan merupakan salah satu makanan favorit (oseng kelakai contohnya).
Menariknya, tumbuhan yang kerap dijadikan sayur itu memiliki manfaat unik. Kalakai ternyata dapat menunda proses penuaan manusia. Berdasarkan studi empirik, diketahui bahwa kalakai dipergunakan oleh masyarakat suku Dayak Kenyah untuk mengobati anemia, pereda demam, mengobati sakit kulit, serta sebagai obat awet muda. Wongso Kesuma, mahasiswa Fakultas Kedokteran Unlam tertarik melakukan penelitian kandungan zat pada kalakai yang merupakan jenis tanaman jenis paku-pakuan, apalagi diyakini sebagai obat awet muda.
Dari hasil penelitian, Wongso mendapatkan bahwa kandungan zat bioaktif kalakai di daun adalah flavonoid sebesar 1,750 persen, streroid sebesar 1,650 persen, dan alkaloid sebesar 1,085 persen. Sementara di batang, ternyata kalakai mengandung flavonoid sebesar 3,010 persen, steroid sebesar 2,583 persen dan alkaloid sebesar 3,817 persen.
Dari serangkaian penelitian yang dilakukan, ia menyimpulkan bahwa kalakai mengandung zat bioaktif yang bersifat seperti anti oksidan seperti vitamin C, vitamin A, dan flavonoid. Zat bioaktif tersebut bekerja secara sinergis dengan makanisme antara lain dengan mengikat ion logam, radikal hidroksin dan oksigen singlet sebagai penghambat penuaan.



3. Eceng gondok
Domain: Eukaryota () - Whittaker & Margulis,1978
Kingdom: Plantae () - Haeckel, 1866 - Plants
Subkingdom: Viridaeplantae () - Cavalier-Smith, 1981
Phylum: Tracheophyta () - Sinnott, 1935 Ex Cavalier-Smith, 1998 - Vascular Plants
Subphylum: Euphyllophytina ()
Infraphylum: Radiatopses () - Kenrick & Crane, 1997
Class: Liliopsida () - Scopoli, 1760
Subclass: Commelinidae () - Takhtajan, 1967
Superorder: Pontederianae () - Takhtajan Ex Reveal, 1992
Order: Pontederiales () - J.d. Hooker, in Le Maout & Decaisne, 1876
Family: Pontederiaceae () - Kunth, 1815[1816] - Water-Hyacinth Family
Subfamily: Trollioideae ()
Tribe: Eichhornieae ()
Genus: Eichhornia () - Kunth, Eichhornia. 3. 1842. - Water-hyacinth, jacinthe d™eau [for Johann A. F. Eichhorn, 1779-1856,
Prussian statesman]

Specific epithet: crassipes - Solms
Botanical name: - Eichhornia crassipes Solms

Photobucket
Eceng gondok (Latin:Eichhornia crassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Selain dikenal dengan nama eceng gondok, di beberapa daerah di Indonesia, eceng gondok mempunyai nama lain seperti di daerah Palembang dikenal dengan nama Kelipuk, di Lampung dikenal dengan nama Ringgak, di Dayak dikenal dengan nama Ilung-ilung, di Manado dikenal dengan nama Tumpe.
Eceng gondok merupakan herba, mengapung di air kadang-kadang berakar dalam tanah, tinggi 0,4-0,8 m.
Daun eceng gondok merupakan roset akar, tunggal, oval, ujung meruncing, pangkal runcing, pangkal tangkai daun menggelembung, tepi rata, panjang 7-25 cm, dan permukaan daun licin serta hijau. Tanaman eceng gondok tidak memiliki batang.
Bunga eceng gondok adalah bunga majemuk, bentuk bulir, di ketiak daun, tangkai bersegi, lunak, hijau, kelopak bentuk tabung; benang sari 6, 3 lebih panjang dari yang lain; mahkota lepas, panjang 2-3 cm, ungu.

Penggunaan eceng gondok sebagai obat di antaranya (seluruh tumbuhan atau akar) :
- tenggorokan terasa panas, kencing tidak lancar, biduran, bisul, abses.
Untuk obat bengkak dipakai sekitar 10 gram tangkai daun Eichhornia crassipes, ditumbuk halus lalu ditempelkan pada bagian yang bengkak, kemudian dibalut dengan kain bersih.
Eceng gondok tumbuh di kolam-kolam dangkal, tanah basah dan rawa, aliran air yang lambat, danau, tempat penampungan air dan sungai. Tumbuhan ini dapat mentolerir perubahan yang ekstrim dari ketinggian air, laju air, dan perubahan ketersediaan nutrien, pH, temperatur dan racun-racun dalam air.
Kandungan kimia pada eceng gondok ini yaitu: Daun Eichhornia crassipes mengandung saponin, flavonoida dan polifenol.
Baru-baru ini ada penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan eceng gondok dapat dijadikan sebagai kolektor uranium.


4. Apu-apu atau kayu apu (pistia stratiotes)
Kingdom: Plantae
(unranked): Angiosperms
(unranked): Monocots
Order: Alismatales
Family: Araceae
Subfamily: Aroideae
Tribe: Pistieae
Genus: Pistia L.
Species: P. stratiotes
Photobucket
Nama daerah dari apu-apu ini seperti Empieng ara (Aceh) Gajambang (Batak) Apu-apu,Kikambang (Melayu), Kiambang, Pengambang (Kalimantan Barat), Tayapu (Kalimantan Tengah), Ki apu (Sunda), Apon-apon, Kayu apu (Jawa), Peyapeh (Madura), Kapu-kapu (Bali), Apung-apung (Sasak), Poda-poda (Makassar) Capo-capo (Bugis).

Tanaman ini juga sering menjadi gulma. Walaupun begitu sering digunakan sebagai tanaman hias.

Daun apu-apu berkhasiat sebagal obat batuk rejan, demam dan untuk pelancar air seni.
Untuk obat demam dipakai ± 15 daun Pistia stratiotes, dicuci, dan direbus dengan 3 gelas air sampai mendidih selama 15 menit, dinginkan dan disaring. Hasil saringan diminum dua kali sama banyak pagi dan sore.
Kandungan kimia Herba Pistia stratiotes mengandung flavonoida dan polifenol.


after all


Walaupun rawa di desa Tungkaran ini memiliki banyak potensi, tentunya ada segi merugikannya. Rawa dengan air yang tenang dan tertutupi sejumlah macam tanaman air akan menjadikan sebagai sarang nyamuk yang potensial. Mulai dari nyamuk penyebab demam berdarah, malaria, hingga chikungunya (belum pernah sih dengar beritanya di kalimantan). Rawa ini juga dapat menjadi tempat perkembangbiakan tikus serta lokasi penyebaran serangga penggerek padi.
Sekarang ini sudah sering terjadi kasus resistensi pada pengobatan malaria. Salah penyebabnya yaitu karena penggunaan obat malaria yang tidak sesuai indikasi. Sehingga pencarian obat malaria yang baru terutama dari alam gencar dilakukan. Salah satu caranya yaitu dengan mencari informasi ke masyarakat mengenai info tanaman obat yang menjadi obat malaria.

Eceng gondok ini lebih bersifat gulma bila dibiarkan, terutama bila perairan mengalami eutrofikasi (kesuburan meningkat). Bila tanaman ini mengalami "booming" mampu menutupi area yang luas dari perairan yang tidak mengalir. Setelah itu, tingkat keasaman perairan di daerah rawa tersebut meningkat, termasuk jumlah sedimen, timbulnya bau tidak sedap, dan jumlah oksigen dalam perairan tersebut menurun akibat terhalangnya cahaya matahari menembus perairan. Namun, tanaman ini mampu menurunkan kadar logam berat dalam perairan tersebut dan menyimpannya di dalam eceng gondok tesebut, sehingga mampu menurunkan tingkat cemaran dalam perairan tersebut. Di luar hal itu semua, eceng gondok dapat dijadikan bahan kerajian tangan, seperti anyaman. Dengan sedikit pelatihan dan bimbingan bagi masyarakat sekitar rawa, jumlah eceng gondok yang melimpah dapat dijadikan sumber penghasilan.

Tiada gading yang tak retak, tentunya semua masih ada yang kurang dan perlu dibenahi.......

Rabu, 18 Maret 2009

Koordinat Lokasi Target : 3º37'22.8" LS dan 114º42'09.2" BT

Desa Tungkaran
Kecamatan Martapura Timur
Kabupaten Banjar
Propinsi Kalimantan Selatan
Koordinat Lokasi Target : 3º37'22.8" LS dan 114º42'09.2" BT
Kategori Lokasi : Wetland, daerah rawa-rawa

Photobucket 
ini dia gambar jembatan kayunya, hehe ;D 


Desa Tungkaran
Desa Tungkaran termasuk daerah Kecamatan Martapura Timur Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Posisi koordinat yang diberikan adalah persis di atas salah satu jembatan kayu yang melintasi daerah rawa. Lokasi ini berjarak sekitar 6 km dari Lab Farmasi FMIPA UNLAM Banjarbaru. Waktu tempuh saat pertama kali mengunjungi lokasi yaitu sekitar 15 menit. Lokasi ini dicapai dengan menyusuri irigasi atau dengan mengambil jalan utama melewati kota Martapura.

Kondisi lokasi yaitu rawa yang cukup luas dan tampaknya cukup dalam airnya. Rawa ini ditutupi oleh mayoritas tanaman eceng gondok. Selain eceng gondok, juga ditemukan tanaman sejenis pandan, teratai, kangkung, purun tikus, kelakai dan tanaman air lainnya. Di sekitar rawa tersebut, tampak pohon-pohon besar dan perumahan penduduk yang seakan memberikan batas yang cukup signifikan bagi rawa tersebut. Tampak ada rumbia (tanaman sagu), mangga, kelapa, dan lainnya.

Photobucket

Rawa ini dipotong oleh jalan yang berada cukup di tengah-tengah rawa.
Rawa ini memiliki aliran air dari arah tenggara (heading 120º) menuju barat laut (heading 300º) (estimasi). Dari arah aliran air tadi dapat ditebak ke mana air di rawa tersebut keluar. Selain itu, rawa ini adalah daerah yang terbuka, karena sangat sedikit pepohonan besar. Bila dilihat dari topografinya, sepertinya rawa ini adalah bagian yang tersisa masih belum terkena imbas alih fungsi lahan basah sebagai lokasi perumahan (dikeringkan atau ditimbun), sebab dikelilingi oleh banyaknya perumahan penduduk yang semipermanen maupun permanen.

Photobucket

Bagi penduduk setempat, rawa ini dijadikan sebagai area pemancingan. Pemanfaatan lainnya yaitu sebagai lahan persawahan, hal ini dapat dilihat dari gambar adanya aktifitas pembibitan padi. Penduduk sekitar juga menggunakan rawa ini sebagai lokasi peternakan itik, bebek dan unggas air lainnya, dikarenakan kondisi rawa yang memungkinkan. Tipe perumahan penduduk kebanyakan adalah rumah panggung terutama yang dekat dengan rawa, mengingat ini adalah rawa pasang surut yang setiap saat dapat berubah sesuai dengan jumlah air yang masuk.

Photobucket

Kondisi perairan dari rawa, cukup bersih dilihat dari beningnya air. Walau air tersebut cukup berbau, bau khas rawa (hasil pembusukkan, "gas rawa" ;)). Kata bersih ini didasarkan pada penampilan secara fisik yaitu warna dan kejernihannya. Hal ini kemungkinan besar karena banyaknya populasi eceng gondok dan sumber yang air rawa yang mungkin belum tercemar serta kurangnya tingkat erosi tanah. Untuk mengetahui lebih lanjut tingkat cemaran secara mikro maupun makro diperlukan cara analisis tingkat lanjut tentunya dengan bantuan alat yang sesuai. Contohnya pengukuran pH dengan pH meter, kadar logam berat. Sepertinya air yang ada di rawa ini kurang layak konsumsi, sebab ada info mengatakan begitu banyak saluran pembuangan yang berujung pada rawa ini.

Photobucket

Melihat kondisi rawa ini secara langsung, dapat dikatakan memiliki tingkat biodiversitas yang cukup tinggi. Selain banyaknya tanaman air, rawa ini juga memiliki fauna yang cukup banyak. Penduduk sekitar dapat memancing dengan santai dan tidak sulit untuk mendapatkan ikan. Dari penuturan penduduk setempat, cukup banyak jenis ikan yang dapat dimanfaatkan dari rawa ini. Contohnya ikan papuyu, ikan haruan, ikan sepat, dan tentunya masih banyak lainnya. Rawa ini juga potensial sebagai tempat penggembalaan itik atau sebagai tambak ikan.
Potensi lainnya dari rawa ini yaitu pemanfaatan eceng gondok yang jumlahnya sangat melimpah. Salah satunya yaitu penggunaan eceng gondok sebagai bahan kerajinan tangan, seperti anyaman. Hasil pencarian di internet, eceng gondok ini dapat diolah menjadi bahan dasar kertas seni dengan cara yang cukup sederhana.

Akhir kata, masih banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai dari rawa yang terletak di desa Tungkaran. Namun, tentunya dengan melihat berbagai dampak baik atau buruknya. Sebab pengelolaan yang salah dari suatu lahan basah (dalam hal ini rawa) akan mengancam kelestarian lingkungan itu sendiri serta bagi manusia yang tinggal di sekitar dan hidup bergantung pada lahan basah tersebut.


Photobucket
At last, taking photo with friends